Jumat, 19 April 2013

Cerita Inspirasi


AKU INGIN ANAK LELAKIMU MENIRUMU

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya...?!”. Suamiku menjawab: “Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.” Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.

Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah. Lalu kubilang pada suamiku: “Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya, Yah.”
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.”

Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: "Ammaa. Apppaa." Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.

Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.

Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.

Sejak hari itu, Ahmad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: “Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!” Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. “Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”

Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.

Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: “Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!”

Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, “Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”

Aku memandang suamiku yang terpaku.
Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam.
Kupandangi keduanya, berlinangan air mata.
Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?

Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.

Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.
Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan.
Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia.
Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.

Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka.
Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku.
Aku bilang: “Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”

Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.

Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!

Amin, Alhamdulillah

SEBARKAN ke teman anda jika menurut anda catatan ini bermanfaat

Author : PercikanIman.org

Kamis, 11 Oktober 2012

Cinta Ayah

Ayah ku telah pergi.
Ibuku seorang diri.
Mengapa engkau pergi terlalu cepat.
Meninggalkan kami yang belum tahu taat.
Meninggalkan kami yang butuh bimbingan.
Untuk mencapai kesuksesan.
Kami hanya bisa berdo`a.
Agar engkau nyenyak di alam baka.
Sejak ayah meninggal dunia.
Rumah bagai kapal tak bernahkoda.
Dan para awak tidak tahu apa-apa.

Kami anak-anaknya.
Bagai ayam tidak ada induknya.
Kenangan indah bersama.
Hilang selamanya.
Bagai badai tiada habisnya.
Jika hal itu ku kenang.
Aku ingin menangis.
Sampai air mataku habis.
Aku ingin berteriak.
Sampai bumi retak.

Ayah....
Izinkan aku bertanya.
Jika ini kehendak yang kuasa.
Aku hanya bisa pasrah.
Dan berkata...
Selamat Jalan Ayah.

Rabu, 04 Januari 2012

Prinsip-Prinsip untuk Menjadi Orang Tua Bijak





 1. Yang utama, apa yang Anda lakukan
Hal ini merupakan salah satu prinsip terpenting. Anak-anak memerhatikan Anda. Jangan memberikan reaksi yang impulsif.

2. Terlibat dalam kehidupan anak
Tentu membutuhkan waktu dan Anda perlu menyusun kembali prioritas Anda. Seringkali, ini berarti mengorbankan apa yang ingin Anda lakukan, dengan melakukan apa yang diinginkan atau diperlukan anak. Selalu siap untuk anak Anda baik secara mental maupun fisik.

3. Sesuaikan dengan karakter anak
Setiap anak memiliki karakter berbeda. Misalnya, anak kelas 2 SMP yang mudah merasa terganggu dan cepat marah, nilainya di kelas sangat jelek. Bisa jadi anak Anda sedang merasa depresi. Memaksanya untuk melakukan keinginan orangtua bukan merupakan jawaban. Jika perlu, permasalahan ini harus didiagnosa oleh seorang profesional.

4. Menetapkan dan menerapkan aturan
Bila Anda tidak mengatur perilaku anak dari kecil, Anda akan mengalami kesulitan pada saat dia lebih besar, terlebih ketika Anda tidak ada di dekatnya. Aturan yang dipelajari anak dari orangtua sejak kecil, akan membentuk aturan-aturan yang diterapkannya di kemudian hari.

5. Membantu mengembangkan kemandirian
Memberikan dukungan terhadap kemandiriannya dapat membantunya mengembangkan arah tujuan yang akan diambil kelak. Banyak orangtua salah mengartikan kemandirian anaknya, dan menyamakannya sebagai pembangkang dan pemberontak. Anak-anak menuntut kemandirian, karena kemandirian merupakan bagian dari sifat dasar manusia untuk merasa terkendali, dan bukan merasa dikendalikan oleh orang lain.

6. Bersikap konsisten
Bila aturan yang Anda berikan kepada anak berubah-ubah dari hari ke hari, atau bila Anda memaksa anak melakukan sesuatu hanya untuk waktu yang sebentar-sebentar, wajar jika anak menjadi bingung. Selalulah berusaha bersikap konsisten agar anak Anda tumbuh menjadi orang yang konsisten dan tak bingung dengan tujuan hidupnya.

7. Hindari disiplin kasar
Janganlah pernah punya keinginan untuk mengalahkan anak. Anak yang sering ditampar lebih mudah berkelahi dengan anak-anak lain, dan kemungkinannya lebih besar bagi mereka untuk menjadi penggertak atau menjadi agresif dalam mengatasi perselisihan dengan orang lain. Banyak kok, cara untuk mendisiplinkan anak, selain main kasar yang malah bisa menimbulkan sifat agresi.

8. Jelaskan aturan dan keputusan Anda
Umumnya, orangtua memberikan penjelasan yang berlebihan pada anak yang masih kecil, dan memberikan penjelasan yang kurang pada anak yang sudah remaja. Padahal, sesuatu yang tampaknya jelas bagi Anda belum tentu jelas bagi anak Anda yang berusia 12 tahun. Anak Anda tidak memiliki prioritas, penilaian atau pengalaman seperti yang Anda miliki, lho.

9. Perlakukan anak Anda dengan hormat
Cara terbaik agar anak menghormati Anda adalah dengan memerlakukannya dengan hormat. Anda harus memberi kebaikan pada anak Anda seperti kebaikan yang Anda berikan pada orang lain. Berbicaralah dengan cara yang sopan kepadanya. Hormati pendapatnya. Dengarkan dengan sungguh-sungguh bila dia berbicara. Anak-anak akan memperlakukan orang lain sebagaimana orangtuanya memperlakukannya. Hubungan Anda dengan anak Anda merupakan pondasi bagi hubungannya dengan orang lain.

Selasa, 03 Januari 2012

Cara Bersyukur

”Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Alnahl [16]: 18).
Bersyukur merupakan salah satu kewajiban setiap orang kepada Allah. Begitu wajibnya bersyukur, Nabi Muhammad yang jelas-jelas dijamin masuk surga, masih menyempatkan diri bersyukur kepada Allah. Dalam sebuah hadis disebutkan, Nabi selalu menunaikan shalat tahajud, memohon maghfirah dan bermunajat kepada-Nya.
Seusai shalat, Nabi berdoa kepada Allah hingga shalat Subuh.Bersyukur merupakan salah satu ibadah mulia kepada Allah yang mudah dilaksanakan, tidak banyak memerlukan tenaga dan pikiran. Bersyukur atas nikmat Allah berarti berterima kasih kepada Allah karena kemurahan-Nya. Dengan kata lain, bersyukur berarti mengingat Allah yang Mahakaya, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Penyantun.
Para ulama mengemukakan tiga cara bersyukur kepada Allah:
Pertama, bersyukur dengan hati nurani. Kata hati alias nurani selalu benar dan jujur. Untuk itu, orang yang bersyukur dengan hati nuraninya sebenarnya tidak akan pernah mengingkari banyaknya nikmat Allah. Dengan detak hati yang paling dalam, kita sebenarnya mampu menyadari seluruh nikmat yang kita peroleh setiap detik hidup kita tidak lain berasal dari Allah. Hanya Allahlah yang mampu menganugerahkan nikmat-Nya.
Kedua, bersyukur dengan ucapan. Lidahlah yang biasa melafalkan kata-kata. Ungkapan yang paling baik untuk menyatakan syukur kita kepada Allah adalah hamdalah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa mengucapkan subhana Allah, maka baginya 10 kebaikan. Barangsiapa membaca la ilaha illa Allah, maka baginya 20 kebaikan. Dan, barangsiapa membaca alhamdu li Allah, maka baginya 30 kebaikan.”
Ketiga, bersyukur dengan perbuatan, yang biasanya dilakukan anggota tubuh. Tubuh yang diberikan Allah kepada manusia sebaiknya dipergunakan untuk hal-hal yang positif. Menurut Imam al-Ghazali, ada tujuh anggota tubuh yang harus dimaksimalkan untuk bersyukur. Antara lain, mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, dan kaki. Seluruh anggota ini diciptakan Allah sebagai nikmat-Nya untuk kita. Lidah, misalnya, hanya untuk mengeluarkan kata-kata yang baik, berzikir, dan mengungkapkan nikmat yang kita rasakan. Allah berfirman, ”Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS Aldhuha [93]: 11)